Selasa, 07 Juni 2011

ISTANA AMANTUBILLAH MEMPAWAH

NAMA             : TIO ULI PATRICIA
NO.REG         : 4423107036
DOSEN            : MOH. SHOBIRIENUR RASYID


ARSITEKTUR
Istana Amantubillah dibangun pada masa pemerintahan Gusti Jamiril bergelar Panembahan Adiwijaya Kusuma (1761-1787). Pada tahun 1880, Istana Amantubillah mengalami kebakaran ketika diperintah oleh Gusti Ibrahim bergelar Panembahan Ibrahim Mohammad Syafiuddin (1864-1892) renovasi terhadap bangunan Istana Amantubillah kemudian dilakukan hingga Istana Amantubillah dapat berdiri kembali pada tanggal 2 November 1992 ketika diperintah oleh Gusti Muhammad Taufik Accamaddin (1902-1943).
Komplek Istana Amantubillah dibagi dalam tiga bagian, yaitu, bangunan utama, bangunan sayap kanan, dan sayap kiri. Pada zaman dahulu bangunan utama merupakan tempat singgasana raja, permaisuri, dan tempat tinggal keluarga raja. Bangunan sayap kanan adalah tempat untuk mempersiapkan keperluan dan tempat untuk jamuan makan keluarga istana. Dan bangunan sayap kiri merupakan aula dan tempat untuk mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan administrasi pemerintahan.
Pada masa sekarang, bangunan utama berfungsi sebagai museum Kerajaan Mempawah. Di tempat ini tersimpan berbagai peninggalan kerajaan Mempawah, yaitu singgasana raja, foto-foto raja beserta keluarganya, keris, busana kebesaran, dan payung kerajaan, dan lain-lain. Bangunan sayap kanan berfungsi sebagai pendopo istana, sedangkan bangunan sayap kiri sebagai tempat tinggal para kerabat Kerajaan Mempawah.

SEJARAH
Istana Amantubillah adalah sebuah nama istana dari Kesultanan Mempawah di Kabupaten Pontianak, Propinsi Kalimantan Barat. Kata Amantubillah berasal dari bahasa Arab yang berarti “aku beriman kepada Allah”. Istana yang didominasi oleh warna hijau ini menempatkan tulisan “Mempawah Harus Maju, Malu dengan Adat” pada pintu gerbang istana. Nama istana tesebut mencerminkan bahwa sultan dan masyarakat Kesultanan Mempawah sangat percaya kepada Allah dan sekaligus melambangkan betapa kuatnya ajaran agama Islam teerpatri pada setiap diri orang Melayu.
Istana Amantubillah sesungguhnya baru didirikan sekitar tahun 1761 M oleh Panembahan Adi Wijaya Kesuma, sultan ke-3 Kesultanan Mempawah. Namun apalah hendak di kata, pada tahun 1880 M istana tersebut terbakar. Peristiwa itu terjadi pada masa pemerintahan Panembahan Ibrahim Muhammad Syafiuddin (1864-1892), sultan ke-9. Istana yang terlihat sekarang ini baru dibangun pada tahun 1922, ketika Gusti Taufik yang bergelar Panembahan Muhammad Taufik Akamuddin (1902-1943), sultan ke-11 naik tahta.
Terhitung sejak tanggal 12 Agustus 2002, tampuk kepemimpinan Kesultanan Mempawah dipercayakan kepada Pangeran Ratu Mardan Adijaya Kesuma Ibrahim, sebagai sultan ke-13.
Kesultanan Mempawah mulai dikenal pada masa kedatangannya rombongan Opu Daeng Menambun dari Kerajaan Matan, Tanjungpura, ke bukit Rama, Mempawah. Lokasi Istana Amantubillah yang sekarang, sekitar tahun 1737 M. eksitensinya semakin diperhitungkan di kancah internasional setelah Opu Daeng Menambun dengan gelar Pangeran Mas Surya Negara naik tahta menggantikan Sultan Senggauk pada tahun 1740 M. Apalagi pada masa pemerintahannya, Habib Husein Alkadri mantan hakim agama di Kerajaan Matan, pindah ke Kesultanan Mempawah. Maka, orangpun kemudian berbondong-bondong datang ke Mempawah tidak hanya untuk melakukan kontak dagang atau kontak politik, tetapi juga untuk mempelajari dan mendalami agama Islam.
Sejarah Kesultanan Mempawah dapat ditelusuri melalui dua periodeisasi, yaitu periode Kerajaan Mempawah Dayak Hindu dan Kesutanan Mempawah Islam. Di antara dua periodeisasi ini, terdapat masa vakum yang cukup lama dari satu periode ke periode yang lain. Berikut ini adalah sejarah Kesultanan Mempawah berdasarkan dua periodeisasi itu.
1. 1. Masa Kerajaan Mempawah Dayak Hindu
Letak geografis Kesultanan Mempawah sekarang ini–yang masih kita nikmati peninggalan-peninggalan bersejarahnya–berbeda dengan ketika Kerajaan Mempawah pertama kali berdiri. Pada masa itu, Mempawah merupakan kerajaan Suku Dayak yang berkedudukan di dekat pegunungan Sidiniang, Sangkling, Mempawah Hulu. Kerajaan ini berdiri sekitar tahun 1380 M, dipimpin oleh seorang patih bernama Patih Gumantar. Menurut sejumlah sumber, pada saat yang bersamaan, telah berdiri kerajaan Dayak lainnya, yaitu Kerajaan Bangkule Rajakng dengan rajanya Ne‘Rumaga. Namun, menurut sumber lain, Kerajaan Bangkule Rajakng tiada lain merupakan Kerajaan Mempawah Dayak itu sendiri dan dipimpin oleh Patih Gumantar. Ada lagi sumber lain yang menyebutkan bahwa kerajaan pimpinan Patih Gumantar itu merupakan pecahan dari Kerajaan Matan/Tanjungpura.
Patih Gumantar pernah berkomunikasi dengan Patih Gajahmada dari Kerajaan Majapahit. Patih Gumantar mengajak Patih Gajahmada untuk berkunjung ke Mempawah dengan tujuan bersama, yaitu menyatukan Nusantara. Diperkirakan, Patih Gajahmada berkunjung ke Mempawah setelah lawatannya ke Kerajaan Muang Thai dalam rangka membendung serangan Kerajaan Mongol. Sebagai bukti kunjungan Gajahmada ke Mempawah adalah Keris Susuhan yang hingga kini masih tersimpan rapi di kawasan Istana Mempawah.
Kerajaan Suku Biaju (Bidayuh) di Sungkung merasa iri dengan kejayaan Mempawah saat itu. Pada sekitar tahun 1400-an M, terjadilah perang “kayau-mengayau”, yaitu tradisi pemenggalan kepala manusia bagi orang Dayak. Patih Gumantar yang dikenal gagah berani dapat dikalahkan karena diserang secara mendadak. Kepalanya di-kayau oleh orang-orang Suku Bidayuh. Patih Gumantar memiliki tiga anak, yaitu Patih Nyabakng, Patih Janakng, dan Putri Dara Hitam. Sejak sepeninggalan Patih Gumantar, Mempawah mengalami masa kemunduran.
Sekitar dua ratus tahun kemudian (tahun 1610 M), Mempawah kembali bangkit. Tampil sebagai pemimpin baru adalah Panembahan Kudong/Kudung atau juga disebut Panembahan Yang Tidak Berpusat. Raja Kudong memindahkan pusat ibu kota Mempawah ke Pekana (Karangan).
Setelah Raja Kudong meninggal pada tahun 1680 M, tahta kekuasaan kemudian dipegang oleh Panembahan Senggauk. Pada masa pemerintahan ini, pusat ibu kota dipindahkan dari Pekana ke Senggauk, hulu Sungai Mempawah. Panembahan Senggauk menikah dengan putri Raja Qahar dari Kerajaan Baturizal Indragiri Sumatra, yang bernama Putri Cermin. Mereka dikaruniai seorang anak perempuan, Mas Indrawati. Ketika usia Mas Indrawati telah beranjak dewasa, ia dinikahkan dengan Panembahan Muhammad Zainuddin dari Kerajaan Matan (Ketapang). Dari hasil perkawinan ini, lahirlah seorang putri cantik bernama Putri Kesumba. Ketika dewasa, Putri Kesumba dinikahkan dengan Opu Daeng Menambun.
Sebagai informasi, Opu Daeng Menambun merupakan keturunan (cucu) dari Raja La Madusalat yang memerintah Kerajaan Luwu (kini terletak di Provinsi Sulawesi Selatan) pada awal abad ke-18. Raja La Madusalat memiliki tiga putra, yaitu:
1.         Pajung (pernah memerintah di Kerajaan Luwuk).
2.         Opu Daeng Biasa (pernah menjadi pemimpin Suku Bugis di Betawi).
3.         Opu Daeng Rilekke, yang dikenal sebagai pelaut pemberani dan suka
mengembara ke berbagai daerah dengan mengikutsertakan putra-putrinya. Ia mempunyai lima orang anak, yaitu: Opu Daeng Kemasih, Opu Daeng Perani, Opu Daeng Menambun, Opu Daeng Celak, dan Opu Daeng Melewa.
Dengan demikian, Opu Daeng Menambun sebenarnya bukan orang Kalimantan asli, namun sebagai perantau dari Sulawesi Selatan dan keturunan Suku Bugis. Sejak dulu keturunan La Madusalat dikenal sebagai pelaut-pelaut yang sangat ulung dan pemberani. Mereka merantau ke berbagai penjuru Nusantara dengan mengarungi laut-laut yang begitu luas, dengan tujuan Banjarmasin, Betawi, Johor, Riau, Semenanjung Melayu, hingga akhirnya tiba di Tanjungputa (Matan).
Ketika dalam masa perantauannya, kelima anak Opu Daeng Rilekke dikenal banyak membantu kerajaan-kerajaan kecil yang sedang dalam kesulitan. Hal itu terbukti ketika terjadi perang saudara di dalam Kesultanan Matan/Tanjungpura, di mana Panembahan Muhammad Zainuddin dibuang ke Banjar oleh adiknya, Pangeran Agung. Kelima bersaudara tersebut membantu Panembahan Muhammad Zainuddin untuk mengambilalih kekuasaan yang sempat jatuh. Sebagai hadiahnya, Opu Daeng Menambun dinikahkan dengan Putri Kesumba. Mereka berdua kemudian dikaruniai sepuluh orang putra-putri, dua di antaranya adalah Gusti Jamiril dan Utin Candramidi.
1. 2. Masa Kesultanan Mempawah Islam
Setelah bertahun-tahun menetap di Matan, Opu Daeng Menambun beserta keluarganya pindah ke Mempawah. Ketika Panembahan Senggauk meninggal pada tahun 1740 M, Opu Daeng Menambun naik tahta kekuasaan Mempawah dengan gelar Pangeran Mas Surya Negara. Opu Daeng Menambun memindahkan pusat kerajaan ke Sebukit Rama (kira-kira 10 km) dari Kota Mempawah.
Masa pemerintahan Opu Daeng Menambun merupakan masa di mana Kesultanan Mempawah Islam mulai berdiri dan kemudian berkembang. Pada masanya, penduduk Mempawah dikenal sebagai penganut Islam yang sangat taat. Opu Daeng Menambun sendiri dikenal sebagai pemimpin yang bijaksana dan lebih mementingkan musyawarah dalam memutuskan berbagai kebijakan kesultanan.
Habib Husein Alkadrie, ulama terkenal asal Kalimantan Barat, pernah pindah dari Matan ke Mempawah. Salah seorang putri Opu Daeng Menambun, Utin Candramidi dinikahkan dengan Sultan Syarif Abdurrahman (Sultan I di Kesultanan Kadriah), putra Habib Husein Alkadrie.
Opu Daeng Menambun meninggal pada tahun 1766 M. Ia digantikan oleh putranya, Gusti Jamiril yang bergelar Panembahan Adiwijaya Kusuma Jaya. Panembahan Adiwijaya dikenal sebagai pemimpin yang sangat anti terhadap kolonialisme Belanda. Ia dikenal dengan sumpahnya bahwa bila suatu saat nanti ia meninggal, jasadnya haram untuk dimakamkan di tanah yang pernah diinjak oleh Belanda. Dengan dibantu oleh kedua putranya, Gusti Mas dan Gusti Jati, ia memimpin Kesultanan Mempawah untuk melawan Belanda.
Di masa pemerintahan Panembahan Adiwijaya, Kesultanan Mempawah mengalami masa keemasannya. Hal itu sangat didukung oleh kepiawaiannya dalam memimpin Mempawah. Meski demikian, ia selalu mendapat tantangan dari Belanda yang tidak henti-hentinya merongrong kekuasaannya. Bahkan, Belanda pernah mengirimkan ratusan pasukannya yang ada di Pontianak untuk menyerang Mempawah. Melihat situasi yang amat berbahaya ini, Panembahan Adiwijaya akhirnya memindahkan pusat pemerintahan Mempawah dari Sebukit Rama ke Sunga (Karangan). Meski demikian, ia masih terus melakukan perlawanan kepada Belanda.
Pada tahun 1790 M, Panembahan Adiwijaya meninggal. Saat itu, sempat terjadi kekosongan kepemimpinan. Kondisi ini dimanfaatkan Belanda untuk melakukan intervensi lebih jauh ke dalam pemerintahan Mempawah, yaitu dengan mengangkat Syarif Kasim sebagai Sultan Mempawah. Namun, kepemimpinan Syarif Kasim tidak bertahan lama karena ia harus memimpin Kesultanan Kadriah, menggantikan ayahnya, Sutan Syarif Abdurrahman. Kursi kepemimpinan kemudian diisi oleh adik Syarif Kasim, Syarif Husein. Lagi-lagi, kepemimpinan “bentukan” Belanda ini berlangsung sebentar karena Gusti Jati dengan dibantu saudaranya, Gusti Mas, mampu mengalahkan pemerintahan bentukan penjajah tersebut.
Akhirnya pada tahun 1820 M, Gusti Jati diangkat sebagai Sultan Mempawah dengan gelar Sultan Muhammad Zainal Abidin. Pada masa pemerintahan ini, Mempawah dikenal sebagai pusat perdagangan dan pertahanan. Gusti Jati memindahkan pusat pemerintahan Mempawah ke Pulau Pedalaman, daerah bekas pendudukan Belanda. Sebagai informasi, nama ibu kota pemerintahan (Mempawah) awalnya diambil dari nama sebuah pohon Mempawah yang banyak tumbuh di sekitar kesultanan.
Gusti Jati pernah diserang oleh Sultan Syarif Kasim dari Kesultanan Kadriah. Karena mendapat serangan yang cukup kuat, akhirnya Gusti Jati mundur ke Kerajaan Mempawah yang lama. Kekosongan kepemimpinan ini dimanfaatkan oleh Belanda dengan mengangkat Gusti Amin sebagai Sultan Mempawah dengan gelar Panembahan Adinata Krama Umar Kamaruddin (tahun 1831-1839 M).
Setelah Gusti Amin wafat, kepemimpinan di Mempawah banyak dikuasai (dikendalikan) oleh pemerintah Hindia Belanda dengan mengangkat beberapa sultan, yaitu: Gusti Mukmin, putra Gusti Amin, dengan gelar gelar Panembahan Mukmin Nata Jaya Kusuma (1839-1872 M); Gusti Makhmud bergelar Panembahan Muda Mahmud Alauddin (tidak diketahui datanya); dan Gusti Usman bergelar Panembahan Usman Mukmin Nata Jaya Kusuma (tidak diketahui datanya). Setelah Panembahan Usman meninggal, tahta kekuasaan kemudian dipegang oleh anak Panembahan Muda Mahmud, yaitu Gusti Ibrahim dengan gelar Panembahan Ibrahim Muhammad Syafiuddin (1872-1887 M). Pada masa pemerintahan ini, Belanda kembali melakukan kekerasan kepada rakyat Mempawah, misalnya memaksa mereka untuk membayar pajak. Ketika itu, sempat terjadi Perang Sangking sebagai simbol perlawanan rakyat terhadap kolonialisme Belanda.
Panembahan Ibrahim meninggal pada tahun 1887 M. Tahta kekuasaan seharusnya beralih kepada putra mahkota Gusti Muhammad Taufik Accamuddin, namun karena belum dewasa akhirnya diserahkan secara sementara kepada Gusti Intan atau Pangeran Ratu Suri dengan gelar Panembahan Anom Kesuma Yuda (1887-1902 M). Pada tahun 1902 M, tahta kekuasaan kemudian dipegang kembali oleh Panembahan Muhammad Taufik Accamuddin, yang memerintah selama lebih dari 40 tahun.
Panembahan Muhammad Taufik menikah dengan Ratu Mutiara, putri Sultan Sambas. Mereka dikaruniai dua orang putra-putri, yaitu Utin Ketumbar dan Pangeran Ukar (keduanya meninggal ketika masih kecil). Panembahan Muhammad Taufik menikah lagi dengan Encek Kamariyah yang bergelar Ratu Mas Sri Utama. Dari hasil perkawinan keduanya, ia memiliki empat orang putra-putri, yaitu: Pangeran Muhammad (Drs. H. Jimmy Mohammad Ibrahim), Pangeran Faisal Taufik, Pangeran Taufikiah, dan Pangeran Abdullah.
Pada tahun 1944 M, Panembahan Muhammad Taufik ditangkap oleh Jepang. Ia ditangkap bersama-sama dengan sejumlah raja dan pemuka masyarakat dari daerah lain. Mereka ditangkap karena dituduh melakukan pemberontakan terhadap rezim pemerintah “bala bantuan tentara Jepang”. Lebih dari 21.037 orang telah menjadi korban. Semenjak ditangkap, ia tidak diketahui keberadaannya lagi. Karena kekosongan kepemimpinan, pihak Jepang kemudian membentuk Bestuur Komisi sebagai pengganti sultan. Ketika itu, yang terpilih adalah Pangeran Wiranata Kesuma (1944-1946 M).
Sebelum pasukan sekutu tiba di Kalimantan Barat, Pangeran Muhammad sebenarnya telah diangkat oleh pihak Jepang sebagai tokoh (Panembahan) Mempawah, meski usianya baru 13 tahun. Ketika datang ke Kalbar pada tahun 1946 M, pihak Belanda pernah berusaha ingin menobatkan Pangeran Muhammad sebagai Panembahan Mempawah yang kedua kalinya. Namun, Pangeran Muhammad tidak mau karena ia masih ingin melanjutkan sekolahnya–ketika itu masih di bangku kelas V Jokio Ko Gakko (setingkat sekolah dasar). Pihak Belanda akhirnya mengangkat Gusti Musta‘an sebagai Wakil Panembahan hingga tahun 1975 M. Setelah beranjak dewasa, Pangeran Muhammad tetap tidak mau diangkat sebagai Sultan Mempawah. Dengan tekad yang sama, ia melanjutkan pendidikannya di Perguruan Tinggi Gadjah Mada, Yogyakarta. Dengan tidak adanya keturunan Panembahan Muhammad Taufik yang naik tahta kekuasaan, maka sejarah Kesultanan Mempawah boleh dibilang terhenti di sini.
Silsilah
Berikut ini adalah daftar para penguasa di Kesultanan Mempawah, yang dirunut sejak periode Kerajaan Mempawah Dayak Hindu:
1. Patih Gumantar (1380-1400-an M)
2. Panembahan Kodong (1610-1680 M)
3. Panembahan Senggauk (1680-1740 M)
4. Opu Daeng Menambun (1740-1766 M)
5. Panembahan Adi Wijaya Kesuma (1766-1790 M)
6. Gusti Jati atau Sultan Muhammad Zainal Abidin (1820-1831 M)
7. Gusti Amin atau Panembahan Adinata Krama Umar Kamaruddin (1831-1839 M)
8. Gusti Mukmin atau Panembahan Mukmin Nata Jaya Kusuma (1839-1872 M)
9. Gusti Makhmud atau Panembahan Muda Mahmud Alauddin (tidak diketahui datanya)
10. Gusti Usman atau Panembahan Usman Mukmin Nata Jaya Kusuma (tidak diketahui datanya)
11. Gusti Ibrahim atau Panembahan Ibrahim Muhammad Syafiuddin (1872-1887 M)
12. Gusti Intan atau Panembahan Anom Kesuma Yuda (1887-1902 M)
13. Gusti Muhammad Taufik atau Panembahan Muhammad Taufik Accamuddin (1902-1944 M)
Periode Pemerintahan
Kesultanan Mempawah telah berdiri selama hampir 6 abad, yaitu sejak tahun 1380 hingga tahun 1944 M. Selama masa sejarah yang sangat panjang ini, pusat (ibu kota) kesultanan telah mengalami lima kali masa perpindahan, yaitu Pengunungan Sidiniang, Pekana, Senggaok, Sebukit Rama, dan Mempawah.
Sultan atau raja yang pernah berkuasa dibagi berdasarkan dua periodeisasi, yaitu zaman Hindu (Kerajaan Mempawah Dayak) dan zaman Islam (Kesultanan Mempawah Islam). Yang berkuasa di zaman Hindu adalah Patih Gumantar (pusat kekuasaannya di Pegunungan Sidiniang), Panembahan Kodong (Pekana), Panembahan Senggauk (Senggauk). Sedangkan yang memerintah di zaman Islam adalah Opu Daeng Menambun, Panembahan Adi Wijaya Kesuma, Gusti Jati atau Sultan Muhammad Zainal Abidin, Gusti Amin atau Panembahan Adinata Krama Umar Kamaruddin, Gusti Mukmin atau Panembahan Mukmin Nata Jaya Kusuma, Gusti Makhmud atau Panembahan Muda Mahmud Alauddin, Gusti Usman atau Panembahan Usman Mukmin Nata Jaya Kusuma, Gusti Ibrahim atau Panembahan Ibrahim Muhammad Syafiuddin, Gusti Intan atau Panembahan Anom Kesuma Yuda, Gusti Muhammad Taufik atau Panembahan Muhammad Taufik Accamuddin.
Wilayah Kekuasaan
Pada masa kini, Mempawah merupakan ibu kota Kabupaten Pontianak, yang berbatasan langsung dengan Kota Pontianak (jarak antara Mempawah dan Pontianak adalah sekitar 67 km). Mempawah memiliki 16 kecamatan, yaitu Mempawah Hilir, Sungai Kunyit, Sungai Pinyuh, Siantan, Sungai Ambawang, Kuala Mandor B, Sungai Raya, Sungai Kakap, Kubu, Terentang, Batu Ampar Kubu, Rasu Jaya, Segedong, Anjongan, Sadaniang, dan Mempawah Timur.
Kehidupan Sosial-Budaya
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Pontianak pada tahun 2000, jumlah penduduk Mempawah adalah 624.866 jiwa. Mayoritas penduduknya berprofesi sebagai petani dan nelayan. Para petani biasanya mengembangkan pertanian padi dan palawija serta perkebunan karet dan kelapa. Sedangkan para nelayan ada yang memiliki alat tangkap sendiri dan ada pula yang menjadi buruh tangkap.
Di masa lalu, Kesultanan Mempawah pernah mengadakan interaksi dengan kerajaan atau kesultanan lain di Nusantara. Berawal dari hubungan dagang, lama-kelamaan berimbas pada terjadinya interaksi kebudayaan yang sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat setempat. Kebudayaan yang berkembang di Mempawah ternyata banyak dipengaruhi oleh kebudayaan lain (luar). Secara umum, kebudayaan luar yang mempengaruhi kebudayaan Mempawah berasal dari tanah Bugis, tempat kelahiran Opu Daeng Menambun.
Salah satu bentuk budaya yang berkembang dan masih dipertahankan di Istana Mempawah adalah upacara Robo-robo. Upacara ini diadakan setiap setahun sekali, yaitu pada hari Rabu terakhir di Bulan Safar. Upacara ini dilakukan pada Bulan Safar karena menurut kepercayaan masyarakat setempat, malam Safar adalah malam di mana banyak terjadi bala dan kesialan bagi umat manusia.
Bagi masyarakat setempat, upacara ini memiliki nilai historis, religius, dan magis. Secara historis, upacara ini memiliki keterkaitan dengan kedatangan Opu Daeng Menambun pertama kali di Mempawah serta hari-hari terakhir hidupnya. Upacara ini juga memiliki nilai religius karena sebagai bentuk permohonan dan doa kepada Tuhan YME agar mereka terhindar dari bala dan bahaya. Bersifat magis, karena upacara ini juga mengandung doa dan sesembahan kepada arwah leluhur agar dapat menolong mereka dari bala dan bahaya yang menimpa.
Upacara ini dilakukan di sejumlah tempat, yaitu: Makam Opu Daeng Menambun di Sebukit Rama; makam panembahan-panembahan dan sultan-sultan di Pulau Pedalaman; pantai yang pertama kali disinggahi Opu Daeng Menambun ketika sampai di Mempawah; jalan-jalan kecil dan gang-gang dalam Kota Mempawah; di Sungai atau Kuala Mempawah hingga ke pantai atau sepanjangan bantaran sungai.
Secara umum, tahapan dari penyelenggaraan upacara ini berupa: (1) upacara ziarah kubur, yaitu mengunjungi Makam Opu Daeng Menambun; (2) upacara kenduri, yaitu memohon doa dan keselamatan kepada Tuhan YME agar terhindar dari segala bala dan bahaya; (3) hiburan rakyat, seperti lomba sampan.

KOLEKSI SEJARAH
1.       Senjata pusaka
Koleksi senjata pusaka yang dimiliki berjumlah ratusan pusaka, namun tidak semua pusaka tersebut dapat diakses secara bebas. Hanya pusaka-pusaka tertentu saja yang bisa dilihat oleh orang awam. Selebihnya beberapa koleksi disimpan di tempat dirahasiakan dan hanya bisa di lihat dan diketahui oleh orang-orang tertentu, khususnya Raja Mempawah. Beberapa koleksi senjata pusaka yang bisa dilihat orang awam biasanya dipamerkan di Istana Amantubillah “dimandikan” atau diarak keliling dalam salah satu acara pada prosesi robo-robo. Koleksi pusaka tersebut antara lain : Keris dan Tombak  Opu Daeng Manambon, Keris Daeng Mataku, Tongkat Ratu Mas, Tombak Kan Kafie, Tombak San Po Kong yang dipakai Panglima Lau Thai Pha, Keris Syeh Yusuf, Mandau Panglima Ungie, Mandau Panglima Idikonyan, Pedang Pagar Ruyung, Pedang Ranggalawe, Pedang Pakubuwono, Pedang Samber Nyowo, sepasang tombak bernama Tombak Lancar, Pedang Mugul dan Sterling, sebilah keris yang bernama Keris Tanjung Lada, dan 3 buah meriam pusaka yang diberi nama Sigonda, Raden Mas, dan Maryam. Meriam Sigonda merupakan symbol laki-laki yang dipercaya yang berasal dari Kerajaan Majapahit di Jawa. Meriam Raden Mas adalah symbol perempuan yang dipercaya berasal dai Bugis. Sedangkan Maryam menjadi meriam yang disimbolkan sebagai anak Sigonda dan Raden Mas.

2.       Stempel Kerajaan/Kesultanan
Stempel Kerajaan berbentuk sebuah lambing yang memuat falssafah. Bentuk tersebut merupakan lambing Kerajaan Amantubilah. Berikut ini merupakan keterangan (makna) dari masing-masing lambang :
1.           Mahkota bertitik 13 menandakan bahwa mahkota adalah symbol pemegang kekuasaan kerajaan. Sedangkan titik berjumlah 13 menandakan bahwa Kerajaan Mempawah kini dipimpin oleh Raja ke-13
2.                       Payung yang mempunyai ujung trisula menandakan bahwa tiga ujung yang dicari selama hidup didunian adalah hidayah, rahmat, dan ampunan dari Tuhan Yang Maha Esa dan akan kembali kepada-Nya. Sedangkan paying bermakna memangunyi keilmuan tentang keTuhanan dan kemanusiaan
3.                             Bintang segienam didalamnya terdapat huruf “Mim, Ha, Min, Dal”
4.                             Pedang dan tombak bersilang
5.                             Sayap ayam jago berbulu 9 di kanan dan 9 di kiri
6.                             Peta Negara Kesatuan Republik Indonesia
7.                             Padi dan kapas
8.                             Rangkaian pita Amantubillah
3.       Buku
4.       Alat musik Senenan
Kerajaan Mempawah memeiliki alat music yang disebut Senenan. Ensamble Senenan mirip dengan gamelan yang lazim di pakai di Jawa. Menurut Karaeng Saiful, seorang lascar Kerajaan Mempawah, Senenan merupakan alat music yang mendapat pengaruh dari Kerajaan Majapahitgamelan Senenan yang masih asli tesimpan di Istana Amantubillah. Sedangkan yang lazim dipakai merupakan replica dari Senenan yang asli.

Jika ditilik dari pernyataan tersebut, maka besar kemungkinan Senenan masuk ke Mempawah ketika kerajaan ini dipimpin  oleh Patih Gumantar pada abad ke-14. Kemungkinan ini diperkuat dengan adanya hubungan kerjasama antara Kerajaan Mempawah (dulu masih bernama Kerajaan Bangkule Rajakng) yang dipimpin oleh Patih Gumantar dengan Kerajaan Majapahit yang kala itu diwakili kepada Pati Gadjah Mada. Kerjasama dua kerajaaan tersebut bertujuan untuk menghadang ekspansi pasukan Mongolia. Salah satu langkah yang dilakukan kedua kerajaan ini adalah melakukan penghadangan terhadap pasukan Mongolia di Muangthai (Thailand).

Indikasi adanya hubungan budaya juga semakin diperkuat dengan hubungan harmonis yang terjadi antara Patih Gumantar dengan Patih Gajah Mada. Hubungan tersebut ditandai dengan pemberian cinderahati dari Patih Gumantar berupa Keris Susuhunan.

5.       Prasasti/Batu Bersurat
Prasasti ini dinamakan Balai Pertemuan karena bentuk (susunan) batumenyerupai bentuk layaknya balai pertemuan. Prasasti ini berbentuk batu melebar sepanjang kurang lebih 36 meter dan tinggi sekitar dua meter. Pada prasasti ini tergurat deretan tulisan yang membentang di sepanjang balai. Menurut perkiraan awal, tulisan tersebut merupakan huruf Pallawa. Dugaan ini dikuatkan dengan argument bahwa huruf yang terdapat pada Prasati Balai Pertemuan pada kolam baru berbentuk teratai di bagian lain pada komlek Makam Opu Daeng Menambon.

Versi lain menyebutkan bahwa Prasasti Balai Pertemuan dibuat oleh Syeh MAulana MAlik Ibrahim ketika agama Islam ke Kalimantan bersama dengan ulama besar lainnya. Ketika menyebarkan agama Islam tersebut, banyak ulama yang kecewa karena kondisi moral umat manusia telah mengalami penurunan. Akhirnya para ulama memutuskan untuk membuat prasasti sebagai peringatan.

Kirab Pusaka Istana Amantubillah

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhV8_ktkxq-yjvBt1X361O9ysZXD_w8_pXWGL6VVZbJxqQRIiLSJF2-cchAa5hQdjgtOL4H3AEf4nI_N0FXiS_MPrFQbyDhG6Asn9cSGvePWCeUHnDIu18OncLYiQwpyoDtFYaqzQJ9RwQ/s320/Kirab+Pusaka+Istana+Amantubillah.jpg
"Meriam Sigondah" Salah satu ritual meyambut robok-robok yaitu Kirab Pusaka Istana Amantubillah Mempawah, seperti meriam Sigondah, keris, tombak dan beberapa jenis pusaka lainnya, yang diarak keliling Kota Mempawah. Khusus untuk meriam Sigondah diarak dengan pedati tertutup kain kuning dengan ditarik seekor kuda putih.
Dikonfirmasi makna perayaan tradisi robok-robok yang melibat berbagai etnis dan berbagai ritual kerajaan, Pangeran Ratu Mardan, mengatakan, menurut sejarah para pengikuti Opu daeng Manambon terdiri dari barbagai etnis dan agama, maka ritual robok-robok Istana Amatubillah melibat unsur dari berbagai etnis sebagai bentuk mempererat persatuan.
Melihat situasi secara nasional maka kita kembalikan rasa memiliki sesama kita. Dan dilihat dari sejarah Kota Mempawah, dari zaman dahulu terdiri berbagai etnis yang menjadi budaya masyarakat Mempawah yang merupakan budaya Amalgamasih artinya perpaduan antara berbagai etnis, berbagai agama, jadi di Kalimantan Barat ini tidak ada budaya yang dominan sehingga budaya yang timbul adalah budaya yang amalgamasih. Karena masing-masing suku mempunyai budaya dan mereka meleburnya dalam budaya keraton.
Istana Amantubillah terbuka untuk umum, siapapun yang datang untuk melihat dan berkunjung di istana kami persilatan. Maka salah satu untuk mengenalkan benda-benda pusaka maka kami adakan kirap pusaka, sehingga masyarakat bisa mengenal dan mengetahui peninggalan sejarah kita. Karena Pusaka Keraton Amantubillah ini sendiri memiliki dua sifat yaitu statis berupa benda-benda pusaka seperti meriam, tombak, keris dan sebagainya. Kedua bersifat dinamis berupa budaya dari masyarakatnya seperti melayu, dayak, madura, cina, bugis dan etnis lainnya. Semuanya itu merupakan Pusaka Keraton Amantubillah, maka kedua pusaka inilah harus diperkenal kepada masyarakat. Dan kegiatan seminar yang dilaksanakan tersebut, juga membuka suatu komunikasi sehingga orang dayak bisa memahami orang melayu, orang madura bisa memahami orang cina dan sebagainya, sehingga mereka saling memahami tanpa saling curiga karena komunikasi yang dilaksanakan berjalan dengan lancar.

PERANAN RAJA/SULTAN SEKARANG

http://www.kerajaannusantara.com/media/gallery/a14396860195a87285d9e92c29eb1156.jpg

Gusti Dr.Ir MArdan Adujaya M.Sc., bergelar pangeran Ratu MArdan Adijaya Kesuma Ibrahim, Pangeran Ratu Mulawangsa (Panembahan XIII)
Pangeran Ratu Mulawangsa adalah Raja ke-13 Kerajaan Mempawah. Beliau lahir di Pontianak pada tanggal 19 MAret 1960 dengan nama Mardan Adijaya. Pada tanggal 12 Agustus 2002 atau bertepatan dengan Senin Kliwon, 3 Jumadil Akhir 1423 H, PAngeran Ratu Mulawangsa ditabalkan sebagai Raja Kerajaan Mempawah bergelar Pangran Ratu Mardan Adijaya Kesuma Ibrahim
Jika dirunut dari silsilah Raja Mempawah, Pangeran Ratu Mulawangsa adalah anak kedua dari Raja Mempawah ke XII, Gusti Jimmi Mohammad Ibrahim bergelar Panembahan Mohammad Ibrahim dengan Rr. HArmini juga mempunyai anak, yaitu Pangeran Gusti Agus Muharso Taufik (anak pertama), Titien Lestari SE (anak ketiga), Dra. Padmi Yanuarni Chandramidi MM (anak keempat).
Raja Mempawah ke-13 ini memperoleh gelar Sarjana Perikanan dan Kelautan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 1985. Mulai tahun 1991, beliau melanjutkan pendidikan di University of New Brunswick (UNB), Kanada berkat beasiswa dari beberapa program, yaitu Canada Indonesia Development Agency General Training Program (CIDA-GTP), Overseas Training Office of the National Planning Board (OTO-BAPPENAS) Scholarship Award (keduanya diterima selama tahun 1991-1994), dan Asian Development Bank Six University Dervelopment and Rehabilitation (ADB-SUDR 6) Scholarship Award (beasiswa ini diterima selama tahun 1994-1998). Selama berada di Kanada, Pangeran Ratu Mulawangsa berhasil menamatkan pendidikan sehingga memperoleh gelar Master of Science in Biology pada tahun 1994 dan Doctor of Philosophy pada tahun 1998.
Pangeran Ratu Mulawangsa juga terlibat dalam berbagai organisasi, baik organisasi professional maupun social kemasyarakatan. Organisasi-organisasi tersebut adalah Forum Keraton Kalimantan Barat, Badan Pengelola DAmpak Lingkungan Kalimantan Barat, Himpunan Ahli Tehnik Hidrolik Indonesia (HATHI), Matematik dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA-Net) Indonesia, New York Academy of Sciences (NYAS), Ikatan Sarjana Perikana Indonesia, Atlantic Canada Assovciation of Parasitologist, Oeca Diving Club Kalimantan Barat.
Salah satu catatan dalam kehidupan pribadi Pangeran Mulawangsa adalah ketika beliau menikah dengan Dr. Ir Arini Mariam, M .Sc pada tahun 1985. Dari pernikahan tersebut, pasangan ini dikaruniai 3 orang putra-putri, yaitu Puteri Aryani Nurnisa Chandramidi, ST. bergelar Pangeran Puteri Seri Negare, Gusti Mohammad Hafizh  Adinugraha, ST. bergelar Pangeran Wirabuana, Gusti Mohammad Hakim Adiprasetya bergelar Pangeran Jayakarta.


Sumber :
- http://wisatamelayu.com/id/object/533/505/istana-amantubillah/&nav=geo
- http://kerajaannusantara.com/id/kerajaan-mempawah/koleksi
- http://ensiclopedy.melayuonline.com/
- http://wisatamelayu.com/id/opinion/d/37/istana-mempawah-simbol-kegigihan-melayu-melawan-penjajah/
- http://www.kerajaannusantara.com/id/kerajaan-mempawah/istana-utama
- http://www.kerajaannusantara.com/id/kerajaan-mempawah/tentang-raja/
- http://berlari.blogspot.com/2008/03/kirab-pusaka-istana-amantubillah.html

1 komentar: