Kamis, 09 Juni 2011

Puri Ageng Blahbatu Gianyar


Puri Ageng Blahbatu Gianyar
Nama: Annas.Suryotoro
 Reg:    4423107032

Puri Ageng Blahbatu Gianyar

Arsitektur  :
Perjalanan arsitektur klasik bali tampaknya tidak beriringan dengan arsitektur jawa. Bali baru mengalami pendakian sejarah,  pengaruh dari gunapriya dengan udayana (Hindu jawa pada bali), dalam pengaruh arsitektur. Bahan batu mulai berkembang di bali pada masa pemerintahan Anak Wungsu. Pada masa penaklukan bali oleh Singosari dan Majapahit berpengaruh pada arsitektur keagamaan. 
 Pada umumnya struktur atau denah pura di Bali dibagi atas tiga bagian, yaitu: jabapura atau jaba pisan (halaman luar), jaba tengah (halaman tengah) dan jeroan (halaman dalam). Di samping itu ada juga pura yang terdiri dari dua halaman, yaitu: jaba pisan (halaman luar) dan jeroan (halaman dalam) dan ada juga yang terdiri dari tujuh halaman (tingkatan) seperti pura Agung Besakih. Pembagian halaman pura ini, didasarkan atas konsepsi macrocosmos (bhuwana agung), yakni : pembagian pura atas 3 (tiga) bagian (halaman) itu adalah lambang dari triloka, yaitu: bhurloka (bumi), bhuvaaloka (langit) dan svaaloka (sorga). Pembagian pura atas 2 (dua) halaman (tingkat) melambangkan alam atas (urdhaa) dan alam bawah (adhaa), yaitu aakaua dan pativi.
Sedang pembagian pura atas 7 bagian (halaman) atau tingkatan melambangkan saptaloka, yaitu tujuh lapisan/tingkatan alam atas, yang terdiri dari: bhurloka, bhuvaaloka, svaaloka, mahaoka, janaloka, tapaloka dan satyaloka. Dan pura yang terdiri dari satu halaman adalah simbolis dari ekabhuvana , yaitu penunggalan antara alam bawah dengan alam atas. Pembagian halaman pura yang pada umumnya menjadi tiga bagian itu adalah pembagian horizontal sedang pembagian (loka) pada palinggih-palinggih adalah pembagian yang vertikal. Pembagian horizontal itu melambangkan prakati (unsur materi alam semesta) sedangkan pembagian yang vertikal adalah simbolis puruua (unsur kejiwaan/spiritual alam semesta). Penunggalan konsepsi prakati dengan puruua dalam struktur pura adalah merupakan simbolis dari pada Super natural power. Hal itulah yang menyebabkan orang orang dapat merasakan adanya getaran spiritual atau super natural of power (Tuhan Yang Maha Esa ) dalam sebuah pura.
Sebuah pura di kelilingi dengan tembok (bahasa Bali = penyengker ) scbagai batas pekarangan yang disakralkan. Pada sudut-sudut itu dibuatlah padurakua(penyangga sudut) yang berfungsi menyangga sudut-sudut pekarangan tempat suci (dikpalaka ).
Sebagian telah dijelaskan di atas, pada umumnya pura-pura di Bali terbagi atas tiga halaman, yaitu yang pertama disebut jabaan (jaba pisan) atau halaman depan/luar, dan pada umumnya pada halaman ini terdapat bangunan berupa bale kulkul (balai tempat kentongan digantung), bale wantilan (semacam auditorium pementasan kesenian, bale pawaregan (dapur) dan jineng (lumbung). Halaman kedua disebut jaba tengah (halaman tengah biasanya berisi bangunan bale agung (balai panjang) dan bale pagongan (balai tempat gamelan). Halaman yang ketiga disebut jeroan (halaman dalam), halaman ini termasuk halaman yang paling suci berisi bangunan untuk Tuhan Yang Maha Esa dan para dewa manifestasi-Nya. Di antara jeroanjaba tengah biasanya dipisahkan oleh candi kurung atau kori agung. danSebelum sampai ke halaman dalam (jeroan) melalui kori agung, terlebih dahulu harus memasuki candi bentar, yakni pintu masuk pertama dari halaman luar (jabaan atau jaba pisan) ke halaman tengah (jaba tengah).
 Candi bentar ini adalah simbolis pecahnya gunung Kailaua tempat bersemadhinya dewa uiva. Di kiri dan kanan pintu masuk candi bentar ini biasanya terdapat arca Dvarapala (patung penjaga pintu, dalam bahasa Bali disebut arca pangapit lawang), berbentuk raksasa yang berfungsi sebagai pengawal pura terdepan. Pintu masuk kehalaman dalam (jeroan) di samping disebut kori agung, juga dinamakan gelung agung. Kori Agung ini senantiasa tertutup dan baru dibuka bila ada upacara di pura. Umat penyungsung(pemilik pura) tidak menggunakan kori agung itu sebagai jalan keluar-masuk ke jeroan, tetapi biasanya menggunakan jalan kecil yang biasanya disebut bebetelan, terletak di sebelah kiri atau kanan kori agung itu.
Pada bagian depan pintu masuk (kori agung) juga terdapat arca Dvarapala yang biasanya bermotif arca dewa-dewa (seperti Panca Devata). Di atas atau di ambang pintu masuk kori agung terdapat hiasan kepala raksasa, yang pada pura atau candi di India disebut Kirttimukha, pada arnbang candi pintu masuk candi Jawa Tengah discbut Kala, pada ambang candi di Jawa Timur disebut Banaspati dan di Bali discbut Bhoma. Cerita Bhoma atau Bhomantaka,  (matinya Sang Bhoma ) dapat dijumpai dalam kakawin Bhomantaka atau Bhomakawya. Bhoma adalah putra dewa Viuou dengan ibunya dewi Pativi yang berusaha mengalahkan sorga. Akhirnya ia dibunuh oleh Viuou sendiri. Kepalanya yang menyeringai ini dipahatkan pada kori agung. Menurut cerita Hindu, penempatan kepala raksasa Bhoma atau Kirttimukha pada kori agung dimaksudkan supaya orang yang bermaksud jahat masuk kedalam pura, dihalangi oleh kekuatan raksasa itu. Orang-orang yang berhati suci masuk kedalam pura akan memperoleh rakhmat-Nya.
Sejarah singkat:
            Puri sebutan untuk tempat tinggal raja dan keluarga dekat raja, berdasarkan pembagian kasta. Puri berasal dari kata sansekerta yang berarti kota , kota berbenteng. Puri Ageng Blahbatu di tempati I Gusti Ngurah Djelantik, SH .

Diceritakan setelah Pulau Bali berhasil ditaklukkan kerajaan Majapahit pada tahun
1343 maka kemudian Mahapatih Gajah Mada mengangkat Adipati berasal dari
Jawa yang diberi gelar Dalem Ketut Kresna Kapakisan sebagai Raja Bali. Istana
beliau berada di Samprangan, wilayah Gianyar sekarang, sebagai pusat
pemerintahannya. Pada mulanya pemerintahan Dalem Samprangan mendapat
reaksi dari masyarakat asli, Bali Aga, membuat Pulau Bali kurang aman.
Untuk menjaga kestabilan dan keamanan pemerintahan, pada tahun 1352 Patih
Gajah Mada mengangkat Sri Nararya Kapakisan berasal dari Jawa Timur sebagai
Perdana Menteri sekaligus sebagai Penasehat Dalem.

 Setelah beberapa keturunan berlalu, disebutlah seorang dari keturunan
Sri Nararya Kapakisan / I Gusti Nyuh Aya, yang bergelar I Gusti Ngurah Jelantik
VI, menjabat sebagai Panglima Perang yang dihandalkan oleh raja yang bergelar
Dalem Sagening yang istana dan pemerintahannya telah berpindah dari
Samprangan ke Gelgel. I Gusti Ngurah Jelantik beristana di puri Jelantik -
Swecalinggarsapura, tidak jauh dari istana raja di Gelgel.

Di puri Jelantik, banyak para abdi laki-laki dan perempuan yang berasal dari
berbagai tempat. Di antara para abdi ada seorang perempuan pelayan (pariwara)
yang sehari-harinya bertugas sebagai penjaga pintu, bernama Ni Pasek Gobleg.
Pada suatu hari, I Gusti Ngurah Jelantik pulang dari bepergian. Pada saat beliau
melangkahkan kaki masuk halaman puri, waktu itu sang pariwara Ni Pasek Gobleg
baru saja selesai membuang air kecil (angunyuh). I Gusti Ngurah Jelantik terkejut
ketika beliau menginjak air yang dirasa hangat di telapak kakinya. Beliau meyakini
air itu tidak lain adalah air kencing Ni Pasek Gobleg, pelayan dari desa Panji
wilayah Den Bukit itu.Timbul gairah birahi I Gusti Ngurah Jelantik kepada Ni
Pasek Gobleg dan serta merta menjamahnya. Hubungan cinta kasih yang
melibatkan I Gusti Ngurah Jelantik dengan pelayannya tidak diketahui oleh
isterinya, I Gusti Ayu Brang-Singa.

Dari larutnya hubungan itu, tidak berselang lama Ni Pasek Gobleg mengandung
dan sampai pada waktunya, lahir seorang bayi laki-laki yang sempurna yang diberi
nama I Gusti Gde Pasekan. Nama itu diambil dari pihak sang ibu yang berasal dari
trah Pasek.
Beberapa waktu kemudian, sang pramiswari, I Gusti Ayu Brang-Singa, setelah
kehamilannya cukup waktunya, juga melahirkan seorang bayi laki-laki, yang diberi
nama I Gusti Gde Ngurah. I Gusti Gde Pasekan lebih tua dari I Gusti Gde Ngurah.

Disebutkan, bahwa dari ubun-ubun I Gusti Gde Pasekan muncul berkas sinar,
tambahan lagi lidahnya berbulu. Melihat keistimewaan I Gusti Gde Pasekan,
muncul perasaan was­was I Gusti Ayu Brang-Singa, bilamana di kemudian hari
nanti, I Gusti Gde Pasekan akan lebih disayang oleh I Gusti Ngurah Jelantik. Lagi
pula akan bisa mengalahkan kedudukan I Gusti Gde Ngurah, putranya sendiri yang
lebih berhak atas segala warisan. Ujar Ni Gusti Ayu Brang-singa: Kakanda Gusti
Ngurah, dari manakah asal-usul anak bayi ini, kakanda
Dijawab oleh I Gusti Ngurah Jelantik: Baiklah adinda, bayi itu asalnya dari
kakanda sendiri, dilahirkan dari seorang pariwara bernama Ni Pasek Gobleg,
berhubungan hanya sekali.

Menyahut Ni Gusti Brang-Singa dengan air muka sedih: Kalau begitu baiklah.
Tetapi bila bayi ini tetap berada disini, maka masalah ini membuat adinda akan
menentang. Bilamana anak ini memiliki hak di Purl Jelantik. Demikian kata-kata
sang isteri kepada Ki Gusti Ngurah Jelantik yang langsung menjawab: „ Jangan
merasa gundah, adinda. Anak itu bersama ibunya akan meninggalkan tempat ini
dan pergi ke Ler Gunung. Mendapat jawaban demikian wajah Ni Gusti Ayu BrangSinga kembali tampak berseri.
Sampailah diceritakan, seseorang bernama I Wayahan Pasek dari desa Panji, dalam perjalanan telah sampai ke puri Jelantik, menjenguk Ni Pasek Gobleg, ibu I Gusti Gde Pasekan. Ki Wayahan Pasek adalah saudara mindon Ni Pasek Gobleg. Di
dalam puri, I Gusti Ngurah Jelantik sudah siap menanti. Demikian sabda I Gusti
Ngurah Jelantik: Wahai engkau Wayahan Pasek. Bawalah olehmu I Gde Pasekan
ke Ler Gunung. Perintahku kepadamu, agar engkau memandang dia sebagai gusti-
mu di sana. Lagi pula di dalam tata laksana upakara terhadapnya jangan dicemari
(carub), karena dia adalah sejatinya berasal dari aku.  Sembah atur I Wayahan
Pasek: Baiklah, hamba junjung tinggi wacanan Gusti. Semuanya sudah jelas.           
Koleksi sejarah yang dimiliki :
·        Sebuah barang pusaka yaitu topeng Gajah mada. Setelah Kerajaan Gelgel dipindahkan ke Semara Pura (Klungkung) dan pada pemerintahan Dalem Wirya Sirikan kira-kira pada tahun 1879 semua topeng-topeng sakral Gajah Mada itu dipindahkan ke Blahbatuh oleh keturunan keluarga I Gusti Ngurah Jelantik. Berdasarkan fakta sejarah, benda-benda peninggalan yang ditemukan pindahnya keluarga besar keturunan I Gusti Ngurah Jelantik, Pura Gedong, Merajan Agung, Pajenengan serta benda-benda pusaka termasuk semua topeng Gajah Mada itu, Wayang Gambuh, benda-benda warisan Dalem Bungkut, diiring oleh rakyat yang setia dan kerbau, sapi, babi, ayam, miliknya dari Suweca Lingga Arsa Pura/Gelgel pada pemerintahan Dalem Dimade tahun 1665 - 1686 M, tepatnya tahun 1682 M = Icaka 1604 pada hari Umanis Pujawali di Pura Gedong dipimpin langsung oleh I Gusti Panji Sakti serta angkatan perang.
Peranan puri pada dewasa ini :
            Puri  pada dewasa ini bukan Cuma sebagai tempat istirahat bagi raja dan peribadatan,  tetapi juga difungsikan sebagai tempat pendidikan dan wisata sejarah.  Puri juga digunakan sebagai tempat pembinanan ibadah ritual, penyaring kebudayaan luar dan kemajuan jaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar